Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Lailahailallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar Walillahilham
Gema takbir kembali berkumandang di seantero jagad, sahut menyahut bak irama melodi yang indah. Masjid ke masjid seakan-akan berlomba untuk mengumandangkan kalimat takbir. Tua muda kaya miskin laki perempuan semuanya larut dalam kegembiraan suasana yang hanya setahun sekali bisa dirasakan. Ya, kita telah dipertemukan kembali dengan Hari Raya Idul Adha.
Idul Adha adalah momen bertemunya 2 peristiwa besar dalam Islam yaitu Ibadah Haji dan juga Ibadah Qurban itu sendiri. Kedua Ibadah tersebut yang jika runut ke jauh kebelakang semuanya adalah bertujuan untuk meneladani kisah keimanan dan keikhlasan Nabi Ibrahim As dan juga keluarganya. Serangkaian ibadah Haji merupakan napak tilas kisah Nabi Ibrahim As dan keluarganya dalam rangka mendekatkan diri dengan Allah.
Bermula dari diperintahkannya Nabi Ibrahim As untuk membawa istrinya Siti Hajar dan juga anaknya yang baru saja dilahirkan setelah menunggu dalam waktu yang lama, Nabi Ismail As ke sebuah tempat yang tak berpenghuni, yang kelak menjadi pusat peribadahan kita umat Islam. Nabi Ibrahim meninggal anak dan istri di daerah mekkah yang saat itu hanya berupa padang pasir tandus tanda ada kehidupan di sekililingnya. Sebuah pengorbanan dan keikhlasan yang sangat besar dilakukan Nabi Ibrahim yang demi mendapatkan cinta dari Sang Maha Pencipta merelakan keluarganya tinggal di daerah tandus. Setelah menempatkan istri dan anaknya, Nabi Ibrahim kembali kemudian meninggalkan mereka berdua dan kembali ke negeri Syam.
Di Mekkah, di padang pasir yang tandusitu, Siti Hajar kebingungan sendiri mencari air untuk bayinya , Ismail yang terus menangis karena kehausan. Padahal air susunya sudah habis. Maka berlarilah Siti Hajar kesana kemari tanpa arah tujuan. Berkali-kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah, tetapi tidak mendapatkan hasil. Namun, Allah tidak menyia-nyiakan hambanya yang bertaqwa. Dengan izin Allah , dari kaki bayi Ismail yang merentak-merentak itu tiba-tiba muncul mata air dari dalam pasir dengan derasnya. Segera Siti Hajar minum sepuasnya dari sana. Maka air susunya pun keluar lagi dan Ismail dapat disusuinya.
Mata air itu semakin lama makin berlimpah. Dan Jibril berkata kepada air itu : “Zam-zam (berkumpulah).” Maka dengan izin Allah , mata air itu mengumpul. Sejak saat itu , hingga saat ini , mata air ini tidak berhenti mengalir dan tidak berhenti mengeluarkan airnya dan dinamakan air Zam-zam. Peristiwa berlari-larinya Siti Hajar antara bukit Shafa dan Bukit Marwah akhirnya dijadikan salah satu rukun haji yaitu Sa’i.
Cerita Pengorbanan nabi Ibrahim berlanjut ketika anaknya, Ismail sudah beranjak besar dan bisa berjalan, sang ayah berkata kepada anaknya bahwa ia bermimpi menyembelihnya sebagai kurban. Ibrahim lalu meminta pendapat kepada anaknya. Sang anak menjawab agar mimpi itu dilaksanakan. Ia akan tetap menjadi sabar dan tabah. Setelah keduanya berserah diri kepada Allah dan sang anak sudah menerimanya dengan ikhlas, kemudian berangkatlah Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail ke Mekkah, tempat diperintahkannya untuk menyembelih anaknya. Disepanjang perjalanan ganggauan demi gangguan dari Syaitan menggoda nabi Ibrahim dan keluarganya. Mulai dari digodanya nabi Ibrahim, berlanjut ke Siti Hajar sang ibu dari Ismail, dan juga nabi Ismail sendiri. Semua bertujuan untuk membatalkan niat nabi Ibrahim As dalam rangka menjalankan perintah Allah. Namun, Nabi Ibrahim sudah bertekad bulat untuk menjalankan azamnya dengan menyembelih Nabi Ismail puteranya sebagai qurban sesuai dengan perintah Allah yang telah diterimanya. Di sepanjang perjalanan melempari syaitan-syaitan yang menggodanya dengan kerikil-kerikil. Kisah ini akhirnya diabadikan dalam kegiatan Ibadah Haji yaitu lempar Jumroh sebagai symbol perlawanan terhadap godaan syaitan. Ketika sudah sampai di Mekkah, Nabi Ibrahim kemudian merebahkan puteranya nabi Ismail di tempat penyembelihan. Dan ketika hendak akan menggoreskan parangnya pada leher nabi Ismail, suatu mukjizat dari Allah datang. Allah menggantinya dengan seekor kambing memerintah nabi Ibrahim untuk menyembelihnya. Dari inilah asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat islam pada tiap hari raya Idul Adha di seluruh dunia.
Dua Peristiwa besar kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya diatas mengajarkan kepada kita tentang pentingnya sebuah nilai pengorbanan dalam memperoleh hasil yang besar. Yang pertama, kurban adalah pengorbanan demi membela tauhid. Memang, kurban ini wujudnya berupa hewan yang secara simbolis dipersembahkan kepada Tuhan. Tapi kongretnya seperti yang sudah dijelaskan di Al-qur’an, “yang sampai kepada Allah bukan daging dan darahnya, melaikankan ketakwaan (Q.S al Hajj : 37). Ketakwaan yang menjadi salah satu syarat tersebut tak lain adalah kecintaan kepada Tuhan dan itu menuntut juga untuk mencintai sesama manusia dengan segala perbuatan baik.
Disini, kita diuji dalam arti lahir untuk selalu menyantuni masyarakat yang tidak mampu. Begitu juga kita diuji dalam arti batin untuk selalu bersikap sabar dan tabah. Bahkan, secara simbolis anak yang merupakan curahan cinta kasih sayang ibu dan bapak pun harus dikorbankan demi meraih kecintaan yang Hakiki dengan membuang jauh-jauh sikap egoism, mementingkan diri sendiri, keluarga, harta, pangkat, jabatan, dan keturunan. Rangkaian ibadah haji sendiri sesungguhnya memberi arti dalam pengertian kehidupan agama dan sosial. Nilai-nilai dari ibadah itu sekali lagi menunjukkan bahwa untuk mencapai puncak Kecintaan kita kepada sang Robb kita mesti berkorban secara rohani, materi dan fisik.
Lantas, kita sebagai mahasiswa yang (ngakunya) Organisatoris, sudahkah kita memberikan pengorbanan kita secara maksimal? Sudahkah kita berkorban secara rohani, materi dan fisik kita untuk memajukan gerak dakwah ini? Ketika kita dihadapkan disituasi yang sangat sulit, masihkan kita mau mengorbankan hal terpenting dalam hidup kita untuk mencapai tujuan yang lebih besar seperti yang dicontohkan nabi Ibrahim As dan keluarganya? Tentulah hanya kita sendiri dan Allah yang Maha Mengetahui yang bisa menjawabnya.
Kita sebagai pemuda Islam sudah waktunya memaknai momen Idul Adha ini sebagai langkah awal peningkatan lahir dan batin. Kita menjadi semakin sadar akan makna pengorbanan, karena manusia hidup pasti akan senantiasa dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan kita untuk berkorban. Perintah berkurban di Idul Adha ini sesungguhnya menyodorkan idealisme dan realisme dalam kehidupan kita. Apalagi saat ini negeri kita tengah menghadapi banyak persoalan social, politik, kemanusiaan dan keagamaan yang menantang untuk melahirkan jiwa-jiwa “pengorbanan” kita. Sebuah kondisi yang pelik inilah yang membuat kita semakin merasakan betapa pentingnya pengorbanan demi kemanusiaan. Dengan menempatkan “Roh Pengorbanan” di setiap aktivitas dakwah, kita berharap akan terjadi sebuah perubahan kearah yang lebih baik lagi. Dengan mengedepankan “roh pengorbanan” pula, kita berharap bisa mencapai cita-cita besar Indonesia Madani.
Wallahu a’lambishawwab
Muhammad Fachrurrozi