PARA PEWARIS BUMI

 Bismillahirrahmannirrahim, alhamdulillahirabbil ‘alamiin

Sholatu wassalam, ‘ala rasulillahi ajma’in, wa’ala ‘alihi washohbih wamantabi’ahum bi ihsaanin illa yaumina ha’dza waba’dih,

Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakaatuh,

Asyhadualla ilaahaillallah, wa asyhaduanna sayyidana muhammadan ‘abduhu warasuluh..

Wahai engkau, ummat terbaik yang pernah diciptakan, betapalah hari ini, bumi telah lelah berputar lagi pada porosnya, diberatkan oleh dosa-dosa ummat manusia. Namun ia tetaplah setia pada ketentuan terhadapnya. Para pewaris bumi kini tengah dalam keadaan tertindas, oleh segala kekuatan yang hendak memupuskan nilai-nilai Islam yang luhur. Dalam surat Al Qashash : 5 disebutkan “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi”

Tapi apakah hari ini para pewaris bumi, telah siap mengembalikan kekayaan yang pernah dimilikinya dahulu? Apakah mereka telah siap untuk merebut kembali apa yang telah mereka renggut dari tangan mereka?

Krisis telah melanda segala aspek kehidupan kita, bermula dari keluarga hingga kehidupan bernegara, dari aspek sosial, budaya, hingga bahan pangan, dari moral, spiritual hingga teknologi dan pertahanan keamanan, juga dari ekonomi hingga hukum dan birokrasi. Kita tengah melihat kehancuran yeng bersifat sporadis, menyebar begitu cepat, sistemik dan terasa sangat sulit untuk diselesaikan. Krisis ini telah merenggut kehidupan hakiki ummat ini, kepada kedahagaan bahkan kematian dari nilai-nilai ilahiah yang agung.

Padahal, di masa lalu, ummat Islam telah berhasil membangun sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat majemuk paling sempurna yang pernah ada dalam sejarah manusia. Sebuah sistem yang tak pernah terbayangkan oleh siapapun. Selama lebih dari seribu tahun, ummat Islam menjadi ummat yang paling berpegang teguh terhadap agamanya, serta menjadi ummat yang paling luhur ahklaknya dan paling sempurna kebudayaannya. Semua keunggulan itu membuat mereka layak menjadi pemimpin dunia dengan wawasan mereka yang sangat luas dan teknologi serta landasan politik sosial dan pemikiran mereka. Pada masa keemasan itu, kita menyaksikan mereka begitu teguh berpegang kepada ajaran agamanya, hingga mereka melebarkan sayap kekuasaan yang merupakan anugerah dari Allah subhanahu wata’ala. Sampai pun ada tiga aspek yang menjadikan mereka mampu teguh di tengah arus kebathilan yaitu : Inspirasi, rasionalitas dan pengalaman (Gulen, 2012).

Dengan ketiga hal itulah dulu kaum muslimin dapat membentangkan nilai-nilai agung langit dari pegunungan Pyrene sampai Samudera Hindia, dari Kazan sampai Somalia, dan dari Poiters sampai Tembok Besar China. Saat itu Islam telah menjadikan dimensi dunia sebagai dimensi akhirat, yang kehebatannya saat itu sampai menjadikan kekuatannya menjadi tak tertaklukkan. Hebatnya lagi, Islam mampu berdiri tegak dengan segala nilai langitnya, di antara keruntuhan-keruntuhan peradaban lain di sekitarnya.

Sungguh menyakitkan ketika kita dapati seluruh dunia makin menjauh dari nilai-nilai Islam yang pernah menyemaikan bunga-bunga pemikiran yang harum, dan buah-buah ilmu pengetahuan yang ranum. Betapa krisis ini telah membuat jurang yang teramat dalam yang berada di tengah-tengah kita semua, yang kapanpun bisa memelesetkan diri kita ke dalamnya. Bersimbah dengan kekotoran dan kekufuran. Luka ummat tengah menganga, dan hampir setiap kejadian yang kita lihat hari ini kian merobek luka itu, tanpa pernah ada yang mau menutupnya kembali. Alih-alih ingin memperbaiki ummat, harokah-harokah, atau kelompok-kelompok yang ada, malah menjadikan krisis ini semakin terpuruk karena ideologi yang dihembuskannya pada akhirnya malah menjauhkan ummat dari persatuan dan kesatuan. Kebanyakan dari mereka juga malah menjadikan ummat ini tenggelam dalam kenistaan karena jauh dari kepedulian sosial dan adab-adab robbaniyyun. Di mana para ‘alim yang paham hanya bersembunyi di balik mihrab berdzikir tanpa mau melihat pertunjukkan pembantaian ahklak anak cucunya di luar sana.

Kini ummat, tengah berada di bawah kekuatan yang tak kasat mata. Menjadikan kita hancur lebur, remuk redam berkeping-keping, harga diri di injak-injak oleh suguhan budaya-budaya binatang yang semakin menelanjangi kita, baik fisik maupun psikis. Kita dipaksa oleh media, menanggalkan kain-kain penutup tubuh kita, dipaksa juga untuk menanggalkan segala principal dan simbol-simbol yang berasal dari Allah, yang kesemuanya itu berdasar pada anggapan mederenisasi yang maju. Padahal kita sebenarnya diperbudak oleh “majikan” – yang kita dengan senang hati menyerahkan diri kepadanya – untuk mulai mengingkari Allah dan rasulnya yang kemudian berlomba-lomba menggali materi-materi dunia yang disuguhkan “majikan” itu. Padahal materi-materi itu beserta gemerlapnya hanyalah bualan, dan tanpa nilai yang hanya akan menistakan Islam ini ke derajat yang lebih rendah di muka bumi.

Telah jelas kita perhatikan, bahwasannya hari ini ummat tengah berbondong-bondong melepaskan kelurhuran agamanya di tengah-tengah pesta pora para perampok prinsip-prinsip ilahiah, mereka adalah musuh-musuh yang tidak disadari keberadaanya. Mereka berusaha memberangus setiap jengkal nilai-nilai Islam, sedangkan kita rela untuk membantu upaya mereka itu dengan dalih kalimat rahmatan lil’alamin dan kata toleransi. Sungguh ironi, kita bagai membantu menumbuhkan kastil-kastil musuh juga membantu memperluas luasan jajahannya, sedang kita menjilati telapak kaki mereka dan juga ikut membunuhi saudara-saudara kita.

Poin penting yang harus kita garis bawahi adalah bagaimana kita semua kemudian menginsyafi kejadian ini semua dan menginsyafi kealpaan kita dari ketidakpedulian yang semakin akut. Bahkan mungkin beberapa diantaranya kita masih berada pada koridor-koridor yang dikehendaki musuh demi terwujudnya rencana busuk mereka. Mungkin juga kita tengah asik masuk pada alam pikiran kita menentangi pikiran-pikiran saudara kita tanpa melihat sisi destruktifnya pada ummat ini, sementara kita mengabaikan nilai-nilai keshalihan sejati. Karenanya, seberapa kuat pun kita mempertahankan nilai-nilai pemikiran canggih yang coba kita bangun, jika kita tidak menyandarkannya pada ahklak-ahklak Qurani dan kerasulan, sudah dipastikan kita hanya akan menuai kehancuran pada ummat ini pada akhirnya, sama seperti kaum konservatif yang menghendaki kejayaan kaumnya, namun hanya akan menggali jurang kematian sejengkal demi sejengkal bagi kejayaannya itu sendiri.

Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan di dalam surat Al Anbiyya :105 “Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai (kepada) hamba-hamba-Ku yang shaleh” . Tidak boleh ada seorangpun yang meragukan janji Allah tersebut, karena hari yang dijanjikan itu pasti benar adanya. Kelak para pewaris bumi itu tidak hanya akan mewarisi bumi. Sebab siapapun yang mewarisi serta menguasai bumi, pasti juga akan menguasai alam semesta. Maka haruslah diingat bahwa penguasaan alam ini hanya akan terjadi jika kehendak pewaris itu dibersamai oleh kehendak Penguasa langit dan bumi. Artinya, semua harapan dan janji Allah itu hanya akan terwujud sesuai dengan pencapaian mereka dalam memenuhi perintah-Nya.

Jadi, jika pun ternyata Allah belum berkenan memberikan mandatnya kepada mereka yang mengaku pewaris bumi yang sah, maka hal itu sebenarnya terjadi karena mereka memang belum cukup pantas untuk menerima augerah itu. Dengan kata lain, erosi spiritualitas dan moral yang terjadi dalam diri sebuah masyarakat pasti akan menyebabkan terputusnya anugerah Ilahi dari masyarakat tersebut. Dan buktinya ada dalam bagaimana kita melihat kerajaan-kerajaan pada abad pertengahan dan kemanusiaan kita hari ini luluh lantak karena pembangkangannya secara jelas, jauh dari nilai-nilai Islam.

Telah tampak jelas bahwa untuk memulihkan kondisi krisis parah yang dapat kita lihat menimpa kaum muslimin hari ini, khususnya pemimpin-pemimpin mereka, tidaklah cukup hanya dengan mendirikan sekolah di tengah masyarakat muslim atau pun menyelenggarakan seminar atau tabligh akbar semata.

Satu-satunya cara untuk mengangkat harkat martabat Islam dari keterpurukan yang tengah mereka alami di tengah kemajuan sains dan teknologi yang berkembang saat ini adalah dengan menemukan kembali jati diri kita yang sebenarnya dan dengan menggali kembali nilai-nilai, pola nalar, dan tatanan hidup rasional yang diajarkan Islam. Selain itu, umat Islam juga harus selalu memiliki gairah, tekad, kesabaran, cita-cita, dan keteguhan hati yang cukup dalam mengibarkan panji-panji perjuangannya itu.

Maka dengan menggerakkan semua lini ummat kearah kesadaran itu, akan didapati ummat ini akan bergerak berirama menemui kebenaran hakiki yang selalu diragukannya selama ini. Seperti gerak thawaff yang terpusat pada ka’bah, gerakan itu mengeluarkan energi yang cukup besar, namun ka’bah mengembalikan energi itu dengan energi yang lebih besar. InsyaAllah, dengan begitu Allah akan mulai memberikan petunjuk dan pertolongannya, menjadikan perpecahan ummat hari ini kembali rekat di antara kita, menjadikan kemunduran sains dan teknologi hari ini menjadi kemajuan yang niscaya, menjadikan kebodohan dan kebobrokan moral dan spiritualitas individunya teperbaiki dalam satu kalimah Tauhid, Laa ilahaillallah muhammadar rasulullah. Aamiin Yaa Rabbal ‘alamiin

Oleh Asep Saiful (Staff Departement Kebijakan Publik KAMMI Komisariat Sepuluh Nopember)

Daftar Pustaka

Quthb, Sayyid. Ma’alim fi Ath Thariq. Terjemahan, Cetakan ke-5 Darul Uswah, September 2013, Yogyakarta

Gulen, Fethullah. Bangkitnya Spiritualitas Islam. Terjemahan, Cetakan I Republika, November 2012, Jakarta

Leave a comment